Selasa, 13 Desember 2011

Jenis Kompetensi


Pengertian Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan keterampilan dan perilaku tugas yang harus dimiliki seorang guru. Seteah dimiliki, tentu harus dihayati, dikuasai dan diwujudkan oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan di dalam kelas yang disebut sebagai pengajaran.
Kompetensi guru meliputi: kompetensi pedagogik (pendidikan), kepribdian, sosial dan profesional sebagai tuntutan dari profesi.

Kompetisi Pedagogik

Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan guru dalam pengolahan pembelajaran untuk kepentingan peserta didik. Paling tidak harus meliputi pemahaman wawasan atau landasan kepemimpinan dan pemahaman terhadap peserta didik.

Selain itu, juga meliputi kemampuan dalam pengembangan kurikulum dan silabus. Termasuk perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi akhir belajar dan pengembangan peserta didik di dalamnya. Ini semua dimaksudkan demi mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki guru, sekali lagi untuk kepentingan pencapaian tujuan pembelajaran.


Kompetensi Kepribadian

Kompetensi kepribadian mencakup kepribadian yang baik, stabil, dewasa, arif dan bijaksana. Tentu saja berakhlak mulia, serta menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat. Secara objektif mampu mengevaluasi kinerja sendiri dan mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.


Kompetensi Sosial

Kompetensi sosial yaitu kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat yang sekurang-kurangnya meliputi kompetensi agar mampu berkomunikasi lisan, tulisan atau secara isyarat. Mampu pula memilih, memilah dan memanfaatkan alat telekomunikasi yang sesuai secara fungsional dan bergaul ecara efektif dengan berbagai kalangan serta lapisan.

Pergaulan itu bisa dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, dan wali peserta didik. Ini berarti bahwa guru dalam konteks kompetensi sosial harus kompoten bergaul secara santun dengan masyarakat di sekitar tempat kerja dan di lingkungan tempat tinggalnya.


Kompetensi Profesional

Kompetensi profesional merupakan wujud nyata kemampuan penguasaan atas materi pelajaran secra luas dan mendalam. Mengerti tujuan diajarkanya materi dan acuan hasil yang akan didapat setelah proses pengajaran. Mampu mempresentasikan dan memperkaya dengan bacaan-bacaan bermutu.

Keempat standar kompetensi tersebut mencerminkan empat standar kompetensi guru yang masih bersifat umum. Jadi, perlu dijabarkan dalam perangkat kompetensi dan subkompetensi yang dikemas secara koheren dan sistematis dengan menempatkan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan bertkwa. Tentusaja selain sebagai warga negara Indonesia yang demokratis dan bertanggung jawab.

Selain poin-pon diatas, diperlukan juga manajemen pengembangan kompetensi guru yang dapat diartikan sebagai usaha yang dikerjakan untuk memajukan dan meningkatkan mutu, keahlian, kemampuan, dan keterampilan guru demi kesempurnaan tugas pekerjaannya. Pengembangan kompetensi guru didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan: perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya arus globalisasi dan informasi, menutupi kelemahan-kelemahan yang tak tampak pada waktu seleksi, mengembangkan sikap profesional, mengembangkan kompetensi profesional, dan menumbuhkan ikatan batin antara guru dan kepala sekolah.

Kompetensi Guru


Kompetensi Guru
Majid (2005:6) menjelaskan kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru akan menunjukkan kualitas guru dalam mengajar. Kompetensi tersebut akan terwujud dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan profesional dalam menjalankan fungsinya sebagai guru. Diyakini Robotham (1996:27), kompetensi yang diperlukan oleh seseorang tersebut dapat diperoleh baik melalui pendidikan formal maupun pengalaman.

Syah (2000:229) mengemukakan pengertian dasar kompetensi adalah kemampuan atau kecakapan. Usman (1994:1) mengemukakan kompentensi berarti suatu hal yang menggambarkan kualifikasi atau kemampuan seseorang, baik yang kualitatif maupun yang kuantitatif. McAhsan (1981:45), sebagaimana dikutip oleh Mulyasa (2003:38) mengemukakan bahwa kompetensi: “…is a knowledge, skills, and abilities or capabilities that a person achieves, which become part of his or her being to the extent he or she can satisfactorily perform particular cognitive, affective, and psychomotor behaviors”. Dalam hal ini, kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya. Sejalan dengan itu Finch & Crunkilton (1979:222), sebagaimana dikutip oleh Mulyasa (2003:38) mengartikan kompetensi sebagai penguasaan terhadap suatu tugas, keterampilan, sikap, dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan.Sofo (1999:123) mengemukakan “A competency is composed of skill, knowledge, and attitude, but in particular the consistent applications of those skill, knowledge, and attitude to the standard of performance required in employment”.  Dengan kata lain kompetensi tidak hanya mengandung pengetahuan, keterampilan dan sikap, namun yang penting adalah penerapan dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan tersebut dalam pekerjaan.Robbins (2001:37) menyebut kompetensi sebagai ability, yaitu kapasitas seseorang individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Selanjutnya dikatakan bahwa kemampuan individu dibentuk oleh dua faktor, yaitu faktor kemampuan intelektual dan kemampuan fisik. Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang diperlukan untuk melakukan kegiatan mental sedangkan kemampuan fisik adalah kemampuan yang di perlukan untuk melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan, dan keterampilan.Spencer & Spencer (1993:9) mengatakan “Competency is underlying characteristic of an individual that is causally related to criterion-reference effective and/or superior performance in a job or situation”. Jadi kompetensi adalah karakteristik dasar seseorang yang berkaitan dengan kinerja berkriteria efektif dan atau unggul dalam suatu pekerjaan dan situasi tertentu. Selanjutnya Spencer & Spencer menjelaskan, kompetensi dikatakan underlying characteristic karena karakteristik merupakan bagian yang mendalam dan melekat pada kepribadian seseorang dan dapat memprediksi berbagai situasi dan jenis pekerjaan. Dikatakan causally related, karena kompetensi menyebabkan atau memprediksi perilaku dan kinerja. Dikatakan criterion-referenced, karena kompetensi itu benar-benar memprediksi siapa-siapa saja yang kinerjanya baik atau buruk, berdasarkan kriteria atau standar tertentu.Muhaimin (2004:151) menjelaskan kompetensi adalah seperangkat tindakan intelegen penuh tanggung jawab yang harus dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu melaksankan tugas-tugas dalam bidang pekerjaan tertentu. Sifat intelegen harus  ditunjukan sebagai kemahiran, ketetapan, dan keberhasilan bertindak. Sifat tanggung jawab harus ditunjukkan sebagai kebenaran tindakan baik dipandang dari sudut ilmu pengetahuan, teknologi maupun etika. Depdiknas (2004:7) merumuskan definisi kompetensi sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak.Menurut Syah (2000:230), “kompetensi” adalah kemampuan, kecakapan, keadaan berwenang, atau memenuhi syarat menurut ketentuan hukum. Selanjutnya masih menurut Syah, dikemukakan bahwa kompetensi guru adalah kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara bertanggung jawab dan layak. Jadi kompetensi profesional guru dapat diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan guru dalam menjalankan profesi keguruannya. Guru yang kompeten dan profesional adalah guru piawi dalam melaksanakan profesinya.Berdasarkan uraian di atas kompetensi guru dapat didefinisikan sebagai penguasaan terhadap pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak dalam menjalankan profesi sebagai guru.



Rabu, 07 Desember 2011

BUDAYA ORGANISASI

Glaser dalam (Kreitner dan Kinicki, 2005) menyatakan bahwa budaya organisasi seringkali digambarkan dalam arti yang dimiliki bersama. Pola-pola dari kepercayaan, simbol-simbol, ritual-ritual dan mitos-mitos yang berkembang dari waktu ke waktu dan berfungsi sebagai perekat yang menyatukan organisasi. Beraneka ragamnya bentuk organisasi atau perusahaan, tentunya mempunyai budaya yang berbeda-beda hal ini wajar karena lingkungan organisasinya berbeda-beda pula misalnya perusahaan jasa, manufaktur dan trading.
Menurut Nawawi (2003) yang dikutip dari Cushway B dan Lodge D, hubungan budaya dengan budaya organisasi, bahwa “budaya organisasi adalah suatu kepercayaan dan nilai-nilai yang menjadi falsafah utama yang dipegang teguh oleh anggota organisasi dalam menjalankan atau mengoperasionalkan kegiatan organisasi”. Sedangkan Nawawi (2003) yang dikutip dari Schemerhom, Hurn dan Osborn, mengatakan “budaya organisasi adalah suatu sistem penyebaran keyakinan dan nilai-nilai yang dikembangkan di dalam suatu organisasi sebagai pedoman perilaku anggotanya”.
Menurut Moorhead dan Ricky (1999), memberikan definisi budaya merupakan kumpulan nilai-nilai yang membantu anggota organisasi memahami tindakan yang dapat diterima dan mana yang tidak dapat diterima dalam organisasi. Nilai-nilai tersebut biasanya dikomunikasikan melalui cerita-cerita atau simbol-simbol lain yang mempunyai arti tertentu bagi organisasi.
Menurut Triguno (2000), bahwa “budaya organisasi adalah campuran nilai-nilai kepercayaan dan norma-norma yang ditetapkan sebagai pola perilaku dalam suatu organisasi.
Dari berbagai definisi budaya organisasi yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa budaya perusahaan adalah sistem nilai-nilai yang diyakini oleh semua anggota perusahaan dan yang dipelajari, diterapkan, serta dikembangkan secara berkesinambungan, berfungsi sebagai sistem perekat, dan dapat dijadikan acuan berperilaku dalam perusahaan untuk mencapai tujuan perusahaan yang telah ditetapkan.

BISNIS RETAIL

A. Pendahuluan

Perkembangan industri retail yang sangat cepat menuntut produsen menyiapkan saluran distribusi yang efektif. Sebagian besar produsen tidak langsung menjual barang mereka kepada pemakai akhir. Di antara produsen dan pemakai terdapat saluran pemasaran, sekumpulan perantara pemasaran yang melakukan berbagai fungsi dan menyandang berbagai nama (Kotler, 2000).

Ada berbagai level saluran yang menghubungkan produsen dengan pelanggan akhir. Saluran terakhir yang menghubungkan produsen dengan pelanggan akhir adalah pengecer (retailer). Menurut Kotler (2000) usaha eceran meliputi semua kegiatan yang terlibat dalam penjualan barang atau jasa secara langsung kepada konsumen akhir untuk penggunaan pribadi dan bukan bisnis.

Pengecer adalah usaha bisnis yang volume penjualannya terutama berasal dari penjualan eceran. Organisasi apa pun yang menjual kepada konsumen akhir baik itu produsen, grosir, atau pengecer dikatakan melakukan usaha eceran. Menurut Setywan (2004) ada beberapa hal yang membuat industri retail penting untuk dipelajari yaitu; Pertama, implikasi retailing dalam perekonomian global, penjualan retailing dan daya serap tenaga kerjanya menjadi kunci perekonomian global. Kedua, fungsi retail dalam rantai distribusi berfungsi menjadi penghubung antara final consumer dengan manufacturer dan wholesaler. Ketiga, hubungan antara pengecer dengan pelanggan, cara pandang yang berbeda antara retailer dan supplier perlu diatasi. Masalah yang perlu diatasi adalah kontrol terhadap retail, alokasi profit, jumlah retail pesaing, lokasi, display dan masalah promosi.

Kondisi persaingan antar perusahaan, kemajuan teknologi, tahapan perekonomian, dan sejarah masyarakat mendorong terjadinya pengembangan kualitas pelayanan (service quality).

Pada sisi penawaran, Setywan (2004) menambahakan, banyak perusahaan menawarkan barang atau jasa yang sama, dengan sedikit sekali atau hampir tidak ada perbedaan barang atau jasa antar perusahaan, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, untuk memenuhi kebutuhan dan atau keinginan konsumen yang sama.

Sedangkan kemajuan teknologi telah memberikan peluang bagi inovasi dan pengembangan barang atau jasa secara terus- menerus. Pada saat yang sama, pemasaran dihadapkan pada kondisi masyarakat yang semakin makmur, sehingga menuntut tawaran – tawaran yang lebih berkualitas.

Pada sisi lain, masyarakat mengalami transisi histories, yaitu sebagian masyarakat telah atau sedang beralih menjadi masyarakat yang berbasis pengetahuan (knowledge economy and society). Saat ini, konsep kualitas pelayanan telah menjadi suatu “ credo “ universal dan telah menjadi faktor yang dominan terhadap keberhasilan suatu organisasi. Service quality tidak hanya diadopsi oleh lembaga penyelenggara jasa – jasa komersial, tetapi juga telah merembes ke lembaga – lembaga pemerintahan, yang selama ini resisten terhadap tuntutan kualitas pelayanan publik yang prima (Sulistyani,2001).

Pada prinsipnya, setiap perusahaan harus mampu memuaskan dan mempertahankan pelanggan (customer satisfaction). Hal ini adalah kunci untuk mempertahankan kinerja bisnis. Dengan memberikan kepada pelanggan “ no reason to switch and every reason to stay “ berarti perusahaan telah mengisolasi (insulat) mereka dari tekanan kompetisi (Johnson & Gustafsson, 2000).

Para pemasar tahu bahwa “having customer, not merely acquiring customers “ merupakan hal terpenting bagi perusahaan (Keaveney, 1995). Oleh karena itu tidak mengherankan jika kepuasan pelanggan total (total customer satisfaction) menjadi tujuan utama (dominan goal) dari perusahaan – perusahaan yang inovatif. Bahkan seringkali sebagai raison d’etre setiap kegiatan bisnis (Cespedes, 1995 ; Seybold, et.al.,2001).

Maka, tidak mengherankan apabila sejak tahun 1980 –an, kepuasan pelanggan merupakan “watchword” dalam dunia bisnis (Griffin,1995; Witt & Moutinho, 1994). Pemuasan pelanggan menjadi bagian integral dari revolusi kualitas (Peter & Waterman Jr.,1982). Barlaw dan Maul (2000) menyatakan bahwa :” produksilah dengan kualitas tertinggi dan anda akan mendapatkan pelanggan yang terpuaskan “ telah menjadi mantra di tahun 80 –an. Sehingga dampaknya , kepuasan pelanggan menjadi area studi terbesar dalam pemasaran.

Selama kurang lebih dua puluh tahun, lebih dari 15.000 artikel akademis maupun bisnis telah dipublikasikan (Hoffman & Bateson,1997: 269). Akan tetapi, di era 90 –an, memuaskan pelanggan saja tidaklah memadai. Sebab, hanya pelanggan yang benar – benar puas saja (delight) yang akan loyal (Kotler, 2000; Schneider & Bowen, 1999)

Delight telah menjadi konstruk yang berbeda (ingin dibedakan) dengan kepuasan (Raut, 2002). Jones dan Sasser Jr., (1997), menyatakan bahwa pelanggan yang puas, tapi tidak benar – benar puas ternyata juga menyatakan rasa tidak senangnya terhadap beberapa aspek dari suatu produk. Konsekuensinya, perilaku pindah (switching behavior) dapat terjadi setiap saat (Reichheld,1996). Secara teoritis, menurut Deming dalam buku “ Out of the Crisis “, perpindahan tersebut dapat terjadi apabila pelanggan merasa tidak rugi terlalu banyak atau bahkan mungkin mendapatkan produk yang lebih baik (Kennedy,1996).

Organisasi retail sangat beragam dari yang nyata hingga di dunia maya (virtual). Ada beberapa jenis organisasi retail (Kotler,2000) yaitu: swalayan; toko khusus, toko serba ada, pasar swalayan, toko kenyamanan (convinience) dan pengecer potongan harga, swapilih, pelayanan terbatas, pelayanan penuh. Industri retail saat ini berusaha menemukan strategi pemasaran baru guna menarik dan mempertahankan pelangggan dengan menawarkan lokasi yang dekat, jenis produk yang unik, dan pelayanan yang baik. Seperti halnya semua pemasar, retail harus menyiapkan rencana pemasaran yang meliputi keputusan mengenai pasar sasaran, ragam dan pengolahan produk, pelayanan produk dan suasana toko.
Dengan demikian, kunci agar perusahan tetap eksis adalah kemampuan perusahaan untuk mempertahankan pelanggannya (retensi).

Apabila pelanggan pergi (defeksi), maka eksistensi perusahaan tidak diperlukan lagi, dan sebaliknya (Seybold, et.al., 2001; Cespedes,1995). Oleh karena itu perusahaan perlu mendeteksi sikap pelanggannya. Pemahaman pemasar terhadap sikap pelanggan, dapat membantu pemasar untuk dapat mempengaruhi dan mengubah sikap konsumen ke arah yang positif.

Pemberian atau pelayanan jasa oleh perusahaan retail mungkin dapat mengalami kegagalan dalam memberikan kepuasan kepada pelanggan apabila perusahaan tidak mengetahui bentuk layanan yang sebenarnya diinginkan pelanggan. Persepsi pelanggan terhadap kualitas pelayanan suatu toko eceran mungkin akan memberikan kepuasan kepada pelanggan yang kemudian menciptakan minat bagi pelanggan untuk melakukan pembelian di toko eceran tersebut (Setyawan dan Ihwan, 2004).

Retail merupakan salah satu jenis saluran industri jasa yang berbeda dengan jenis industri manufaktur, hal ini menyebabkan kesukaran dalam mengukur kinerja industri retail. Alat pengukuran kinerja jasa dikembangkan oleh Parasuraman (1988) untuk mengukur kepuasan konsumen perusahaan jasa yaitu SERVQUAL (service quality). Penelitian mengenai service quality perception dan purchase intention pada industri komunikasi, transportasi, kesehatan dan hiburan pernah dilakukan Taylor dan Baker (1994). Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Setyawan dan Ihwan (2004) yang mereplikasi penelitian Taylor dan Baker pada perusahaan retail.

Penelitian ini menguji pengaruh service quality perception dengan satisfaction sebagai variabel antara (moderating variable) namun hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel service quality perception dan variabel satisfaction merupakan variabel bebas (independent variable).

CONTOH PENDAHULUAN (BAB1)


PENGARUH KINERJA KARYAWAN, KEPUASAN DAN KEPERCAYAAN TERHADAP KESETIAAN PELANGGAN


PENDAHULUAN

Latar belakang
Peranan karyawan terutama karyawan front-stage sangat penting menunjang keberhasilan setiap perusahaan terutama perusahaan yang bergerak di sektor jasa. Alasannya karena karyawan memiliki kemampuan untuk mempengaruhi persepsi pembeli. Karyawan merupakan bagian dari jasa itu sendiri, sehingga bagi pelanggan, karyawan berfungsi sebagai komunikator sekaligus wakil dari citra perusahaan Kegagalan karyawan menyampaikan citra yang baik kepada pelanggan, hanya akan memberikan dampak buruk terhadap persepsi mereka kepada perusahaan (SP Djati, 2005).

Jasa merupakan bidang industri yang unik. Dikatakan unik karena bidang ini memiliki ciri khas yang membedakannya dengan bidang industri manufaktur. Keunikan paling nyata ada pada sifatnya yang tidak menimbulkan perpindahan kepemilikan. Dalam transaksi jasa, perpindahan kepemilikan tidak terjadi, yang terjadi adalah penambahan nilai. Penambahan nilai dalam industri jasa merupakan masalah utama karena proses pertukaran atau transaksi dikatakan berhasil ketika semua pihak yang terlibat dalam proses tersebut mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan pengorbanannya. Inti dari pertukaran adalah mengorbankan sesuatu untuk memperoleh yang lain, diharapkan apa yang diperoleh melebihi yang dikorbankan (SP Djati, 2005).

Perbedaan organisasi jasa dan manufaktur terletak pada peran manusianya atau karyawannya. Sifat jasa yang inseparability dimana produksi dan konsumsi dilakukan secara bersamaan membuat interaksi yang terjadi antara karyawan dengan konsumen selama proses transfer jasa menjadi sangat berpengaruh terhadap persepsi konsumen pada kualitas jasa (Bitner, Booms dan Mohr, 1994 ; Grõnroos, 1982; Hartline dan Ferrel, 1996; Surprenant dan Solomon, 1987) dan ini membuat karyawan berperan penting dalam proses jasa (Herrington dan Solomon, 1987) dan ini membuat karyawan berperan penting dalam proses jasa (Herrington dan Lomax, 2003) bahkan karyawan sering dipersepsi sebagai jasa itu sendiri (Shostack, 1977).

Kinerja karyawan ditunjukkan melalui kualitas layanan yang diberikan kepada pelanggan sehingga perusahaan berdasarkan persepsi pelanggannya dapat mengevaluasi kualitas layanan karyawan, selain melalui praktek SDM seperti penilaian dari penyelia, rekan kerja, dan atasan (SP Djati, 2005).

Pada karyawan front-stage yang sering difungsikan oleh para wiraniaga, prestasi kerja mereka dinilai dengan melihat tingkat pertumbuhan dan tingkat perpindahan pelanggan. Seperti yang dinyatakan oleh Handoko dan Darmawan (2004, 39-44) bahwa indikasi keberhasilan armada penjualan dari semua wiraniaga secara simultan dapat dilihat dari tingkat pertumbuhan pelanggan, sedangkan secara parsial dinilai melalui kinerja masing-masing wiraniaga.

Karyawan front-stage berperan pada penjualan tatap-muka. Bentuk penjualan ini menimbulkan proses komunikasi secara langsung antara pelanggan dan karyawan front-stage. Wiraniaga berperan juga sebagai human attribute yang berfungsi sebagai pemasar untuk mempengaruhi calon pelanggan, dan berkewajiban memuaskan kebutuhan dan keinginan pelanggan (SP Djati, 2005).

Sebagaimana dikatakan oleh Shostack (1977), bahwa karyawan sering dipandang sebagai jasa itu sendiri maka interaksi antara karyawan dengan konsumen yang didasarkan pada kepercayaan berpengaruh secara positif bagi perusahaan karena hubungan ini akan menciptakan nilai bagi konsumen yang pada gilirannya akan medorong kesetiaan (Guenzi dan Pelloni, 2003).

Kepercayaan merupakan konsep yang memfokuskan diri pada masa depan, yang memberikan suatu jaminan bahwa patner termotivasi untuk tidak beralih dalam konteks pertukaran dengan pihak lain ( Gurviez dan Korchia, 2003). Kepercayaan merupakan variabel kunci dalam jaringan pertukaran antara perusahaan dengan mitra-mitranya (Morgant & Hunt,1994). Secara psikologi kepercayaan merupakan suatu keyakinan dan kemauan atau dapat juga disebut sebagai kecenderungan perilaku (Moorman, Zaltman & Deshpande, 1992 dalam Delgado-Ballester et al., 2003).

Chow dan Holden (1997), dalam studinya berhasil mengidentifikasikan peran kepercayaan dalam bidang non jasa. Dalam studi tersebut ditemukan bahwa rasa percaya konsumen terhadap tenaga penjualan berpengaruh secara signifikan terhadap kepercayaan mereka pada perusahaan meskipun belum terbukti mampu membuat konsumen menjadi loyal pada perusahaan.

Studi yang dilakukan oleh Ferrinadewi dan Djati (2004) memberi bukti empirik bahwa kepercayaan konsumen dalam bidang jasa dapat tercipta dari dimensi-dimensi manusia seperti ketanggapan (responsiveness), jaminan (assurance), empati (emphaty) dan kehandalan (reliability). Dampaknya terhadap kesetiaan konsumenpun terbukti lebih besar ketika konsumen yang telah memiliki rasa percaya tersebut merasakan kepuasan Interaksi yang sukses dapat tercipta bila proses dibelakangnya mendukung aktivitas ini.

Artinya, peran karyawan front-liner hanya akan memberikan nilai yang maksimal bagi pelanggan ketika karyawan pada departemen lainnya memberikan layanan yang maksimal pula pada karyawan front liner. Kinerja front liner yang zero defect merupakan tujuan akhir yang hendak dicapai organisasi (Bitner, Booms dan Mohr, 1994).

Dapat dikatakan bahwa karyawan di departemen tertentu dalam organisasi jasa merupakan pelanggan internal bagi departemen lainnya dan mempengaruhi hubungan dengan pelanggan eksternal (Liljander, 2000).

Tawaran pasar dari sektor jasa seperti usaha retail dan pengecer, perlu selalu memantau kualitas layanan yang diberikan karyawannya kepada pelanggan. Pertumbuhan semakin pesat terjadi pada pengecer produk-produk yang bersifat umum atau khusus. Pengecer produk-produk umum seperti hypermarket dan pengecer produk-produk khusus seperti toko-toko elektronik yang menjual satu buah kategori produk (SP Djati, 2005).  

skripsi mudah cepat tepat

skripsi tesis disertasi manajemen akuntansi manajemen pemasaran manajemen sumber daya manusia manajemen produksi skripsi tesis disertasi manajemen akuntansi skripsi manajemen pemasaran skripsi manajemen sumber daya manusia skripsi manajemen produksi

Senin, 05 Desember 2011

JUDUL SKRIPSI AKUNTANSI

  1. LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN SEBAGAI ALAT BANTU MANAJEMEN UNTUK MENILAI PRESTASI KERJA MANAJER PENJUALAN PADA PR. WELAS ASIH MALANG 
  2. ANALISIS PERLAKUAN AKUNTANSI AKTIVA TETAP DAN PENGARUHNYA TERHADAP LAPORAN KEUANGAN PADA PERUSAHAAN TAKSI PT. NGURAH RAI BALI TAXI
  3. Efektivitas Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Dalam Rangka Otonomi Daerah di Kota Malang
  4. PENGARUH TINGKAT SUKU BUNGA, TINGKAT INFLASI, DAN KURS DOLLAR US TERHADAP RETURN SAHAM PADA PERUSAHAAN LQ-45 YANG GO PUBLIC DI BEJ
  5. DIVERSIFIKASI SAHAM DENGAN MODEL MARKOWITZ SEBAGAI DASAR PENETAPAN INVESTASI SAHAM (Studi Kasus pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta)
  6. PENTINGNYA ANALISA LAPORAN KEUANGAN CALON DEBITUR SEBAGAI BAHAN PERTIMBANGAN PEMBERIAN KREDIT PADA BPR HAMINDO NATA MAKMUR PARE – KEDIRI
  7. PERLAKUAN AKUNTANSI AKTIVA TETAP BERWUJUD DAN PENGARUHNYA TERHADAP LAPORAN KEUANGAN PADA PERUSAHAAN TEH CINTA DAMAI BERJAYA BANJARMASIN
  8. ANALISIS STUDI KELAYAKAN TENTANG PENAMBAHAN SARANA ANGKUT (ARMADA BUS) PADA PERUSAHAAN P.O. SIMPATIK MATARAM
  9. ANALISIS PERBEDAN PROFITABILITAS PERUSAHAAN SEMEN SEBELUM DAN SESUDAH GO PUBLIC DI BURSA EFEK SURABAYA
  10. PENGUKURAN DAN PELAPORAN BIAYA MUTU SEBAGAI ALAT UNTUK MENILAI KINERJA PERUSAHAAN GENTENG BETON ULTRA MALANG
  11. PERENCANAAN DAN PENGENDALIAN BIAYA PEMELIHARAAN AKTIVA TETAP (MESIN) UNTUK MENJAGA KELANCARAN PRODUKSI PADA PT. SINDOPEX PEROTAMA SIDOARJO
  12. PENGARUH EARNING PER SHARE TERHADAP RETURN SAHAM (Studi pada Perusahaan Non Manufaktur yang Go Public di Bursa Efek Jakarta)
  13. ANALISIS PENERAPAN SISTEM INFORMASI AKUNTANSI DALAM MENYEDIAKAN INFORMASI UNTUK PENGAMBILAN KEPUTUSAN PENJUALAN PADA PERUSAHAAN “MALANG INDAH” MALANG
  14. PERENCANAAN PAJAK (TAX PLANNING) DALAM RANGKA PENGHEMATAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN (Studi pada PT. Sulindo Mas Jaya Pandaan)
  15. ANALISIS BALANCED SCORECARD SEBAGAI ALAT UKUR KINERJA MANAJEMEN PADA PT. TELKOM (Persero) KANDATEL MALANG
  16. PENGARUH VOLUME PENJUALAN SAHAM DAN TINGKAT SUKU BUNGA SBI TERHADAP HARGA SAHAM (Studi Pada Perusahaan Tekstil Yang Go Public Di Bursa Efek Jakarta)
  17. KONSEP ECONOMIC VALUE ADDED SEBAGAI ALTERNATIF UNTUK MENILAI KINERJA KEUANGAN PERUSAHAAN ROKOK YANG LISTING DI BURSA EFEK JAKARTA
  18. KELAYAKAN INVESTASI AKTIVA TETAP PADA PERUSAHAAN JASA ANGKUTAN WISATA PT. MEGA HANDIKA TOUR DENPASAR – BALI
  19. PERBANDINGAN ANTARA RETURN ON ASSETS (ROA) DENGAN ECONOMIC VALUE ADDED (EVA) DALAM MENILAI KINERJA PERUSAHAAN (Studi Kasus Pada Perusahaan Rokok Yang Go Public di Bursa Efek Jakarta)
  20. LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN BIAYA PRODUKSI SEBAGAI ALAT UNTUK MENILAI BIAYA PRODUKSI DAN PENILAIAN KINERJA PADA PERUSAHAAN ROKOK “DJAGUNG PADI” MALANG
  21. PENGARUH RISIKO SISTEMATIS DAN LIKUIDITAS TERHADAP TINGKAT PENGEMBALIAN SAHAM PADA PERUSAHAAN PERBANKAN YANG GO PUBLIC DI BES
  22. ANALISIS BIAYA DIFFERENSIAL DALAM RANGKA MENERIMA ATAU MENOLAK PESANAN KHUSUS PADA PT. PINDAD TUREN MALANG
  23. OPTIMALISASI KAS DALAM UPAYA MENJAGA LIKUIDITAS DAN MENINGKATKAN RENTABILITAS PADA PERUSAHAAN MEBEL GATRA MAPAN KARANGPLOSO MALANG
  24. EVALUASI SISTEM PENGENDALIAN MANAJEMEN UNTUK MENINGKATKAN KINERJA MANAJER PENJUALAN PADA PERUSAHAAN MEUBEL “RAJA” DENPASAR BALI
  25. PERLAKUAN AKUNTANSI ATAS AKTIVA TETAP BERWUJUD DAN PENGARUHNYA TERHADAP LAPORAN KEUANGAN PADA CV. SAMUDRA RAYA CUPEL NEGARA BALI
  26. PERENCANAAN PAJAK (TAX PLANNING) DALAM RANGKA PENGHEMATAN KAS STUDI KASUS PADA PERUSAHAAN GARMENT “MEKAR WANGI COLLECTION” GIANYAR - BALI
  27. ANALISIS SISTEM INFORMASI AKUNTANSI PENJUALAN DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN PENJUALAN PADA CV. KHANA TABANAN – BALI
  28. ANALISA KINERJA KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI (PT. ASURANSI HARTA AMAN PRATAMA Tbk, PT. ASURANSI RAMAYANA Tbk, PT. LIPPO INSURANCE Tbk)YANG GO PUBLIC DI BEJ
  29. PERANAN ANALISIS COST PROFIT VOLUME SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PERUSAHAAN ROKOK “SATU JAYA” TANGGULANGIN SIDOARJO
  30. ANALISIS COST , PROFIT, VOLUME UNTUK PERENCANAAN LABA PADA PERUSAHAAN TENUN NASIONAL CV. HANA MULTIGUNA NGUNUT TULUNGAGUNG
  31. PENYUSUNAN ANGGARAN BIAYA PRODUKSI PADA PERUSAHAAN MEUBEL FURNITURE ASRI L U M A J A N G
  32. MENGHITUNG TINGKAT KEUNTUNGAN SAHAM DENGAN CAPITAL ASSET PRICING MODEL UNTUK MENENTUKAN PORTOFOLIO SAHAM PERUSAHAAN LQ-45
  33. ANALISIS PROFITABILITAS SEBAGAI DASAR PENILAIAN EFISIENSI MANAJEMEN PADA PT. GUDANG GARAM, Tbk
  34. FAKTOR-FAKTOR YANG DIPERTIMBANGKAN OLEH BPR DALAM PEMBERIAN KREDIT (Studi Kasus BPR di Kabupaten Jombang)
  35. ANALISA LAPORAN KEUANGAN PERBANKAN SEBAGAI ALAT PENILAI PERFORMANCE BANK UNTUK TUJUAN PRUDENTIAL (KEHATI-HATIAN) PADA BANK RAKYAT INDONESIA
  36. PENGARUH PERSISTENSI LABA AKUNTANSI DAN UKURAN PERUSAHAAN TERHADAP HARGA SAHAM (Studi Pada Perusahaan Manufaktur Kategori LQ-45 yang Terdaftar di BEJ)
  37. PENGARUH EARNING PER SHARE TERHADAP RETURN SAHAM PADA PERUSAHAAN ROKOK YANG GO PUBLIC DI BEJ
  38. ANALISA RASIO KEUANGAN DAN Z-SCORE (ALTMAN) SEBAGAI MODEL UNTUK MENILAI KINERJA KEUANGAN PERUSAHAAN TEKSTIL DI BES
  39. PENGARUH NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP DOLAR PADA RATA-RATA HARGA SAHAM PERUSAHAAN PUBLIK DI BURSA EFEK JAKARTA (BEJ)
  40. ANALISIS KELAYAKAN PENAMBAHAN GEDUNG BARU (EKSPANSI) PADA PERUSAHAAN ROKOK GUDANG SORGUM MALANG
  41. PENERAPAN ACTIVITY BASED COSTING SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF PENGENDALIAN BIAYA OVERHEAD PABRIK PADA PERUSAHAAN MIE DEWI SRI SUMENEP MADURA
  42. ANALISIS RATIO KEUANGAN SEBAGAI ALAT UNTUK MENGUKUR PRESTASI MANAJEMEN PADA PT. GUDANG GARAM K E D I R I
  43. PENERAPAN TAX PLANNING DALAM UPAYA MENINGKATKAN EFISIENSI PEMBAYARAN BEBAN PAJAK PADA PERUSAHAAN PT. MALANG INTERMEDIA PERS (RADAR MALANG)
  44. ANALISIS LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN BIAYA PRODUKSI UNTUK MENILAI KINERJA MANAJER PRODUKSI PADA PT. PERKEBUNAN NUSANTARA X (PERSERO)PG. TJOEKIR JOMBANG