Rabu, 07 Desember 2011

BISNIS RETAIL

A. Pendahuluan

Perkembangan industri retail yang sangat cepat menuntut produsen menyiapkan saluran distribusi yang efektif. Sebagian besar produsen tidak langsung menjual barang mereka kepada pemakai akhir. Di antara produsen dan pemakai terdapat saluran pemasaran, sekumpulan perantara pemasaran yang melakukan berbagai fungsi dan menyandang berbagai nama (Kotler, 2000).

Ada berbagai level saluran yang menghubungkan produsen dengan pelanggan akhir. Saluran terakhir yang menghubungkan produsen dengan pelanggan akhir adalah pengecer (retailer). Menurut Kotler (2000) usaha eceran meliputi semua kegiatan yang terlibat dalam penjualan barang atau jasa secara langsung kepada konsumen akhir untuk penggunaan pribadi dan bukan bisnis.

Pengecer adalah usaha bisnis yang volume penjualannya terutama berasal dari penjualan eceran. Organisasi apa pun yang menjual kepada konsumen akhir baik itu produsen, grosir, atau pengecer dikatakan melakukan usaha eceran. Menurut Setywan (2004) ada beberapa hal yang membuat industri retail penting untuk dipelajari yaitu; Pertama, implikasi retailing dalam perekonomian global, penjualan retailing dan daya serap tenaga kerjanya menjadi kunci perekonomian global. Kedua, fungsi retail dalam rantai distribusi berfungsi menjadi penghubung antara final consumer dengan manufacturer dan wholesaler. Ketiga, hubungan antara pengecer dengan pelanggan, cara pandang yang berbeda antara retailer dan supplier perlu diatasi. Masalah yang perlu diatasi adalah kontrol terhadap retail, alokasi profit, jumlah retail pesaing, lokasi, display dan masalah promosi.

Kondisi persaingan antar perusahaan, kemajuan teknologi, tahapan perekonomian, dan sejarah masyarakat mendorong terjadinya pengembangan kualitas pelayanan (service quality).

Pada sisi penawaran, Setywan (2004) menambahakan, banyak perusahaan menawarkan barang atau jasa yang sama, dengan sedikit sekali atau hampir tidak ada perbedaan barang atau jasa antar perusahaan, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, untuk memenuhi kebutuhan dan atau keinginan konsumen yang sama.

Sedangkan kemajuan teknologi telah memberikan peluang bagi inovasi dan pengembangan barang atau jasa secara terus- menerus. Pada saat yang sama, pemasaran dihadapkan pada kondisi masyarakat yang semakin makmur, sehingga menuntut tawaran – tawaran yang lebih berkualitas.

Pada sisi lain, masyarakat mengalami transisi histories, yaitu sebagian masyarakat telah atau sedang beralih menjadi masyarakat yang berbasis pengetahuan (knowledge economy and society). Saat ini, konsep kualitas pelayanan telah menjadi suatu “ credo “ universal dan telah menjadi faktor yang dominan terhadap keberhasilan suatu organisasi. Service quality tidak hanya diadopsi oleh lembaga penyelenggara jasa – jasa komersial, tetapi juga telah merembes ke lembaga – lembaga pemerintahan, yang selama ini resisten terhadap tuntutan kualitas pelayanan publik yang prima (Sulistyani,2001).

Pada prinsipnya, setiap perusahaan harus mampu memuaskan dan mempertahankan pelanggan (customer satisfaction). Hal ini adalah kunci untuk mempertahankan kinerja bisnis. Dengan memberikan kepada pelanggan “ no reason to switch and every reason to stay “ berarti perusahaan telah mengisolasi (insulat) mereka dari tekanan kompetisi (Johnson & Gustafsson, 2000).

Para pemasar tahu bahwa “having customer, not merely acquiring customers “ merupakan hal terpenting bagi perusahaan (Keaveney, 1995). Oleh karena itu tidak mengherankan jika kepuasan pelanggan total (total customer satisfaction) menjadi tujuan utama (dominan goal) dari perusahaan – perusahaan yang inovatif. Bahkan seringkali sebagai raison d’etre setiap kegiatan bisnis (Cespedes, 1995 ; Seybold, et.al.,2001).

Maka, tidak mengherankan apabila sejak tahun 1980 –an, kepuasan pelanggan merupakan “watchword” dalam dunia bisnis (Griffin,1995; Witt & Moutinho, 1994). Pemuasan pelanggan menjadi bagian integral dari revolusi kualitas (Peter & Waterman Jr.,1982). Barlaw dan Maul (2000) menyatakan bahwa :” produksilah dengan kualitas tertinggi dan anda akan mendapatkan pelanggan yang terpuaskan “ telah menjadi mantra di tahun 80 –an. Sehingga dampaknya , kepuasan pelanggan menjadi area studi terbesar dalam pemasaran.

Selama kurang lebih dua puluh tahun, lebih dari 15.000 artikel akademis maupun bisnis telah dipublikasikan (Hoffman & Bateson,1997: 269). Akan tetapi, di era 90 –an, memuaskan pelanggan saja tidaklah memadai. Sebab, hanya pelanggan yang benar – benar puas saja (delight) yang akan loyal (Kotler, 2000; Schneider & Bowen, 1999)

Delight telah menjadi konstruk yang berbeda (ingin dibedakan) dengan kepuasan (Raut, 2002). Jones dan Sasser Jr., (1997), menyatakan bahwa pelanggan yang puas, tapi tidak benar – benar puas ternyata juga menyatakan rasa tidak senangnya terhadap beberapa aspek dari suatu produk. Konsekuensinya, perilaku pindah (switching behavior) dapat terjadi setiap saat (Reichheld,1996). Secara teoritis, menurut Deming dalam buku “ Out of the Crisis “, perpindahan tersebut dapat terjadi apabila pelanggan merasa tidak rugi terlalu banyak atau bahkan mungkin mendapatkan produk yang lebih baik (Kennedy,1996).

Organisasi retail sangat beragam dari yang nyata hingga di dunia maya (virtual). Ada beberapa jenis organisasi retail (Kotler,2000) yaitu: swalayan; toko khusus, toko serba ada, pasar swalayan, toko kenyamanan (convinience) dan pengecer potongan harga, swapilih, pelayanan terbatas, pelayanan penuh. Industri retail saat ini berusaha menemukan strategi pemasaran baru guna menarik dan mempertahankan pelangggan dengan menawarkan lokasi yang dekat, jenis produk yang unik, dan pelayanan yang baik. Seperti halnya semua pemasar, retail harus menyiapkan rencana pemasaran yang meliputi keputusan mengenai pasar sasaran, ragam dan pengolahan produk, pelayanan produk dan suasana toko.
Dengan demikian, kunci agar perusahan tetap eksis adalah kemampuan perusahaan untuk mempertahankan pelanggannya (retensi).

Apabila pelanggan pergi (defeksi), maka eksistensi perusahaan tidak diperlukan lagi, dan sebaliknya (Seybold, et.al., 2001; Cespedes,1995). Oleh karena itu perusahaan perlu mendeteksi sikap pelanggannya. Pemahaman pemasar terhadap sikap pelanggan, dapat membantu pemasar untuk dapat mempengaruhi dan mengubah sikap konsumen ke arah yang positif.

Pemberian atau pelayanan jasa oleh perusahaan retail mungkin dapat mengalami kegagalan dalam memberikan kepuasan kepada pelanggan apabila perusahaan tidak mengetahui bentuk layanan yang sebenarnya diinginkan pelanggan. Persepsi pelanggan terhadap kualitas pelayanan suatu toko eceran mungkin akan memberikan kepuasan kepada pelanggan yang kemudian menciptakan minat bagi pelanggan untuk melakukan pembelian di toko eceran tersebut (Setyawan dan Ihwan, 2004).

Retail merupakan salah satu jenis saluran industri jasa yang berbeda dengan jenis industri manufaktur, hal ini menyebabkan kesukaran dalam mengukur kinerja industri retail. Alat pengukuran kinerja jasa dikembangkan oleh Parasuraman (1988) untuk mengukur kepuasan konsumen perusahaan jasa yaitu SERVQUAL (service quality). Penelitian mengenai service quality perception dan purchase intention pada industri komunikasi, transportasi, kesehatan dan hiburan pernah dilakukan Taylor dan Baker (1994). Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Setyawan dan Ihwan (2004) yang mereplikasi penelitian Taylor dan Baker pada perusahaan retail.

Penelitian ini menguji pengaruh service quality perception dengan satisfaction sebagai variabel antara (moderating variable) namun hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel service quality perception dan variabel satisfaction merupakan variabel bebas (independent variable).

1 komentar: